Wednesday, July 06, 2005

Ketika Senja Tiba (renungan diri tentang pensiun)

Hari ini adalah hari terakhir salah seorang sahabat dalam mengabdi di kantor kami. Sedih ya, karena selama ini kita selalu bersama-sama. Tapi…..ya bagaimana lagi, setiap orang pasti akan memasuki masa ini, masa pensiun. Suka ga suka, kita harus menjalaninya.
Jujur, perasaan takut menghadapi masa itu juga pernah menghinggapi diri ini. Menjadi tua dan tidak berguna, terkadang bisa mematikan nyala api kehidupan yang seharusnya tetap ada hingga sang Khalik memanggil kita untuk kembali.
Jujur juga, perasaan ketakutan itu salah satunya menyangkut, bagaimana kehidupan kita pasca pensiun, yaitu soal jaminan kesehatan. Small thing but important. Soalnya khan kita ga pernah tau kapan hidup ini akan berakhir. Dan biasanya uang dari pensiun itu khan diharapkan bisa untuk membiayai kehidupan sehari-hari. Nah, bagaimana dengan masalah kesehatan? Biasanya khan, ketika usia menjelang senja nanti, satu per satu nikmat yang diberikanNya, perlahan-lahan diambilNya. Contohnya, nikmat penglihatan, pendengaran, tubuh yang mulus dan molek. Ingat pernah ada sajak yang berbunyi begini,

Ketika pandangan mulai kabur,
Gigi mulai gugur,
Uban sudah mulai bertabur,
Tandanya diri sudah dekat kubur……


Satu persatu penyakit tua mulai menggerogoti. Uang yang kita kumpulkan pun akhirnya harus kita alokasikan buat menjaga apa yang namanya sehat. Syukur-syukur ga pake nyusahin anak apalagi orang lain.

Terkadang terlintas pikiran, “enak juga ya jadi pegawai negeri, terjamin sampe hari tua.”
Astaghfirullah!!! Aku koq jadi kufur gini yaaaaa, lupakah aku pada firmanNya,

“Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya).” (QS 65 : 2 & 3)

Mempersiapkan diri untuk hari esok ga ada salahnya koq, memang kita harus tetap mempersiapkan diri. Namun, bila kita malahan melupakan bahwa ada yang lebih ber- Kuasa dan ber- Kehendak, hendaknya usaha tersebut juga diikuti tawakal atas kehendakNya. Biar selamet deh, hidup di dunia dan akhirat.

Ketika diri ini menyandarkan pada sesuatu yang nisbi, maka diri ini akan rapuh dan hancur. Namun ketika diri menyandarkan pada Yang Kekal, InsyaAllah, kita ga bakal takut akan apa yang bakal terjadi di masa
datang. Hanya saja aku berharap, sisa umur ini masih bisa bermanfaat, baik buat keluargaku maupun orang lain. Jadi hidup ini ga berasa sepi. Smoga………

Notes: Makasih ya Abi…buat diskusinya semalam, smoga Allah masih memberi kita waktu yang banyak buat saling mengingatkan.

Monday, July 04, 2005

Negeri Preman

Ini pengalaman kami dari pindahan Ahad lalu. Hummmm, ternyata di negara yang katanya penduduknya ramah-ramah, premanisme masih merajalela ya…..
Ceritanya, ahad lalu kami memindahkan sebagian kecil barang kami dari Duren Sawit ke rumah mungil kami di Jati Asih, Bekasi. Ga banyak, hanya sebuah tempat tidur ukuran nomor 2 dan sedikit perabotan rumah tangga yang terbilang kecil, seperti kompor, magic jar, piring, gelas, sendok garpu, dan….ceret tuit (itu lho….ceret air yang kalo airnya masak, kasih kode tuiiiiiiiitttttt…..tuiiiiiiittttttt hehehe).

Nah ceritanya, karena kebetulan ada tetangga yang baik mo meminjamkan mobil bak terbukanya untuk mengangkut barang-barang kami plus bantuin ngangkut, pagi-pagi kami dah berangkat. Yang berangkat duluan mas Indra, karena pertimbangan, aku lebih baik ikut mobil papah yang lebih nyaman buat aku dan si Uda kecil di dalam perut. Aku tiba di Jati Asih kira-kira sejam setelah mas Indra sampai duluan. Jadi waktu aku dateng, tempat tidurnya dah terpasang dengan rapi. Mas Indra cerita, waktu dia sampe di Jati Asih, tiba-tiba dari arah gerbang masuk menuju rumah kami, muncul orang-orang (kayaknya sih, orang-orang yang tinggal di sekitar komplek) memaksa untuk membantu. Berhubung yang mas Indra bawa hanya tempat tidur yang kira-kira masih bisa diangkut barengan dengan 2 orang tetangga dari Jatiwarna, jadi mas Indra menolak dengan halus tawaran dari orang-orang yang berdatangan tersebut.

Alhamdulillah, ga lama dah mo masuk Dzuhur, semua barang dah rapi masuk rumah. Berhubung pompa air belum dipasang, makanya kita masih minta air untuk sementara waktu sama masjid deket rumah. Nah, waktu mas Indra berangkat ke masjid buat sholat sekalian ambil air, dicegat sama orang-orang yang ngakunya penduduk sekitar situ. Aku sih ga tau apa yang mereka bicarakan, dari raut wajahnya mas Indra, kelihatannya sempat tegang, tapi trus salaman.
Balik dari masjid, aku tanya apa gerangan yang terjadi, ternyata menurut mas Indra, orang-orang yang mengaku penduduk sekitar situ, agak ga suka ketika kita menurunkan barang-barang tanpa minta bantuan mereka. Mas Indra sempat nanya, apa ada peraturan yang mengharuskan seperti itu (maklum, namanya orang baru khan harus menyesuaikan sama lingkungan yang baru), ternyata mereka bilang, engga, hanya diminta pengertiannya aja. Lucu ya, pertama, barang-barang yang kita angkut ga banyak, dan emang cukup dibawa sama mas Indra dan tetangga dari Jatiwarna yang ikut bantuin. Sampe-sampe mas Indra bilang, “apa kalo saya bawa ceret…apa harus dibawain juga????” Kedua, apakah ungkapan peduli sama penduduk sekitar, kita harus selalu minta bantuan sama mereka dalam melakukan segala hal? Bukan jumlah uangnya, tapi….koq sedikit maksa gitu yaaaaaa. Bukannya kita seharusnya masih punya pilihan buat melakukannya sendiri dan sesuai dengan kemampuan kita?

Hehehe, jadi inget crita sahabat sekantor yang ketika pindahan juga dapat perlakuan yang sama dari penduduk sekitar. Kalo dia kasusnya karena dia ga memanfaatkan penduduk sekitar sebagai kuli untuk renovasi rumahnya, malahan make jasa pamannya dari kampung, yang notabene ngirit di ongkos. Sampe-sampe temenku itu ngaku-ngaku dari keluarga TNI (hehehe, masih laku ya mas…hari gini gitu lho!) biar ga dirusuhin mereka lagi dalam merenovasi rumahnya. Atau denger crita dari temen mas Indra yang harus rela bayar charge (yang lumayan gede juga) dari tiap-tiap batu bata yang diangkutnya ke dalam komplek rumahnya (kebayang khan kalo ada 1000 biji batu bata!).
Gejala apa sih ini? Kayaknya kita sebagai pendatang juga ga mau sok-sok an, apalagi sombong-sombongan. Kita juga mau koq berbaur sama penduduk lama. Trus, apa yang namanya merangkul penduduk sekitar itu, kita harus ga punya pilihan dan harus mengorbankan keuangan kita sendiri yang jelas-jelas dah diatur atas pos-pos-nya tersendiri (hihihi, dasar ibu-ibu, mo-nya ngiriiiiiiiiiiiit trus).
Trus yang bikin bete, itu lho…..koq bisa ya, muncul tentara-tentara sipil yang alih-alih mengamankan masyarakat dengan mengatas namakan penduduk asli, tapi kelakuannya malahan bikin syerem masyarakat asli sendiri. Trus koq yang kayak ghitu masih bisa tumbuh subur ya di kota ini.