Monday, July 04, 2005

Negeri Preman

Ini pengalaman kami dari pindahan Ahad lalu. Hummmm, ternyata di negara yang katanya penduduknya ramah-ramah, premanisme masih merajalela ya…..
Ceritanya, ahad lalu kami memindahkan sebagian kecil barang kami dari Duren Sawit ke rumah mungil kami di Jati Asih, Bekasi. Ga banyak, hanya sebuah tempat tidur ukuran nomor 2 dan sedikit perabotan rumah tangga yang terbilang kecil, seperti kompor, magic jar, piring, gelas, sendok garpu, dan….ceret tuit (itu lho….ceret air yang kalo airnya masak, kasih kode tuiiiiiiiitttttt…..tuiiiiiiittttttt hehehe).

Nah ceritanya, karena kebetulan ada tetangga yang baik mo meminjamkan mobil bak terbukanya untuk mengangkut barang-barang kami plus bantuin ngangkut, pagi-pagi kami dah berangkat. Yang berangkat duluan mas Indra, karena pertimbangan, aku lebih baik ikut mobil papah yang lebih nyaman buat aku dan si Uda kecil di dalam perut. Aku tiba di Jati Asih kira-kira sejam setelah mas Indra sampai duluan. Jadi waktu aku dateng, tempat tidurnya dah terpasang dengan rapi. Mas Indra cerita, waktu dia sampe di Jati Asih, tiba-tiba dari arah gerbang masuk menuju rumah kami, muncul orang-orang (kayaknya sih, orang-orang yang tinggal di sekitar komplek) memaksa untuk membantu. Berhubung yang mas Indra bawa hanya tempat tidur yang kira-kira masih bisa diangkut barengan dengan 2 orang tetangga dari Jatiwarna, jadi mas Indra menolak dengan halus tawaran dari orang-orang yang berdatangan tersebut.

Alhamdulillah, ga lama dah mo masuk Dzuhur, semua barang dah rapi masuk rumah. Berhubung pompa air belum dipasang, makanya kita masih minta air untuk sementara waktu sama masjid deket rumah. Nah, waktu mas Indra berangkat ke masjid buat sholat sekalian ambil air, dicegat sama orang-orang yang ngakunya penduduk sekitar situ. Aku sih ga tau apa yang mereka bicarakan, dari raut wajahnya mas Indra, kelihatannya sempat tegang, tapi trus salaman.
Balik dari masjid, aku tanya apa gerangan yang terjadi, ternyata menurut mas Indra, orang-orang yang mengaku penduduk sekitar situ, agak ga suka ketika kita menurunkan barang-barang tanpa minta bantuan mereka. Mas Indra sempat nanya, apa ada peraturan yang mengharuskan seperti itu (maklum, namanya orang baru khan harus menyesuaikan sama lingkungan yang baru), ternyata mereka bilang, engga, hanya diminta pengertiannya aja. Lucu ya, pertama, barang-barang yang kita angkut ga banyak, dan emang cukup dibawa sama mas Indra dan tetangga dari Jatiwarna yang ikut bantuin. Sampe-sampe mas Indra bilang, “apa kalo saya bawa ceret…apa harus dibawain juga????” Kedua, apakah ungkapan peduli sama penduduk sekitar, kita harus selalu minta bantuan sama mereka dalam melakukan segala hal? Bukan jumlah uangnya, tapi….koq sedikit maksa gitu yaaaaaa. Bukannya kita seharusnya masih punya pilihan buat melakukannya sendiri dan sesuai dengan kemampuan kita?

Hehehe, jadi inget crita sahabat sekantor yang ketika pindahan juga dapat perlakuan yang sama dari penduduk sekitar. Kalo dia kasusnya karena dia ga memanfaatkan penduduk sekitar sebagai kuli untuk renovasi rumahnya, malahan make jasa pamannya dari kampung, yang notabene ngirit di ongkos. Sampe-sampe temenku itu ngaku-ngaku dari keluarga TNI (hehehe, masih laku ya mas…hari gini gitu lho!) biar ga dirusuhin mereka lagi dalam merenovasi rumahnya. Atau denger crita dari temen mas Indra yang harus rela bayar charge (yang lumayan gede juga) dari tiap-tiap batu bata yang diangkutnya ke dalam komplek rumahnya (kebayang khan kalo ada 1000 biji batu bata!).
Gejala apa sih ini? Kayaknya kita sebagai pendatang juga ga mau sok-sok an, apalagi sombong-sombongan. Kita juga mau koq berbaur sama penduduk lama. Trus, apa yang namanya merangkul penduduk sekitar itu, kita harus ga punya pilihan dan harus mengorbankan keuangan kita sendiri yang jelas-jelas dah diatur atas pos-pos-nya tersendiri (hihihi, dasar ibu-ibu, mo-nya ngiriiiiiiiiiiiit trus).
Trus yang bikin bete, itu lho…..koq bisa ya, muncul tentara-tentara sipil yang alih-alih mengamankan masyarakat dengan mengatas namakan penduduk asli, tapi kelakuannya malahan bikin syerem masyarakat asli sendiri. Trus koq yang kayak ghitu masih bisa tumbuh subur ya di kota ini.

2 comments:

Anonymous said...

Inilah masalah yang tiba-tiba menyentakkan keinginan saya untuk mencari berita tentang preman yang berkedok sebagai kuli angkut di kompleks perumahan. Saya merasa masygul mengetahui pengalaman Anda. Kasus ini pernah diangkat sebagai berita pada harian Kompas 26 Juli 2001 serta stasiun penyiaran SCTV pada bulan yang sama.Intinya saya tidak setuju apabila ada sekelompok orang yang bersikap laksana preman sekalipun alasannya adalah bahwa mereka orang-orang yang terkalahkan oleh proses pembangunan kompleks perumahan di kampung tempat mereka tinggal. setiap hubungan ekonomi, semisal mengangkut serta menurunkan barang, haruslah dibentuk oleh proses tawar-menawar yang dilandasi oleh kesukarelaan.
Muly De La Vega

Anonymous said...

Ini memang kejadian gak logis yang herannya jadi budaya setelah reformasi 98, dengan alasan kemisikinan. Hal ini gak akan muncul jika watak asli bangsa kita gak spt ini, watak mau hidup enak tanpa kerja (padahal cuma sebatas itu saja, gak akan jadi kaya dengan meres org lain), suka disebut jagoan dan mau hidup dari ketakutan org lain, pokoknya yang sebra kriminal dan preman, banyak bangsa kita yang suka, bukan cuma kalangan jelata, watak ini sudah merasuki segala elemen bangsa dan lapisan strata hingga ke elit. Tapi ironisnya, dari mental sok jago dan sok kuasa, dimulai dari meres pada akhirnya cuma jadi anjing yang suka dielus2 dan dipelihara yang punya duit banyak yang semula mungkin cuma 'korban'-nya, lalu berubah jadi juragan-nya. Mental bangsa yang malas dan preman berkait erat denga mental gampang disuap dan dibeli. Ini yang terjadi puluhan tahun, makanya gak heran banyak elit kita yang cuma 'org suruhan' pemilik modal besar, bahkan mau jual bangsa dan negranya demi 'tips'. Jadi, jgn pernah berharap bangsa ini akan beradab, gak ada kemauan dari pemimpin dan tokoh yang mau ubah watak ini, bahkan sebagin malah nyari2 pembenar, spt tadi, alasan kemiskinan (padahal preman elit banyak dan gak miskin).