Monday, November 22, 2004

Titip Rindu Buat Embah

Kalo sebagian besar Muslimin di Dunia merayakan Idul Fitri dengan suka cita, Idul Fitri (or Lebaran, commonly we say) kemarin Kamis 18 November 2004, kami kehilangan perempuan yang kami “sekeluarga besar” sayangi, Embah. Of course kami bahagia di Lebaran kemarin, karena masih diberi kesempatan dari Allah buat kumpul sama kami sekeluarga, termasuk sama Embah buat yang terakhir kalinya.

Aku mungkin engga akan crita tentang saat-saat terakhirnya Embah or How Nice & Generous She Is (karena InsyaAllah, beliau emang orang yang baik, setidaknya itu yang banyak dibilang orang), tapi izinkan saya bercerita tentang sepenggal kenangan aku sama dia (karena emang ga banyak, tapi dalemmmmmm banget!). Semua kenangan itu bagaikan rangkaian film yang diputar buat aku, saat aku berdiri memandangi jasadnya dari atas void di depan kamarku.

Mungkin aku yang paling beruntung dari cucu beliau yang lain, karena aku yang paling lama dekat dengan beliau (iya lah! wong cucu pertama!).
Liat foto dibawah ini, mengingatkan aku ketika waktu itu mamah lagi sekolah di Bogor, aku dititipin sama Embah di Pasar Minggu (tapi emang sejak kami kecil, mamah biasa menitipkan kita bertiga di rumah Embah, sambil nunggu mamah pulang ngantor di Pancoran yang lumayan deket sama rumah Embah di bilangan Pasar Minggu). Foto si cengeng yang ga mau ditinggal ibunya pergi sekolah. Inget banget….waktu itu Embah merengkuhku seusai shalatnya…..(liat deh mata aku yang masih berkaca-kaca habis merengek ditinggal mamah), selepas itu Embah mengajakku ke Ragunan (berdua aja, naek oplet!). Aku dipakaikannya sepatu, baju warna merah putih, dan ga lupa topi! Duh Embah……aku ga akan pernah lupa saat itu.




Saat aku dibangku sekolah dasar, mungkin aku yang paling rajin nginep di rumah Embah (saban wiken), inget kalo Embah masak nasi pake kukusan, trus beliau tumplekin di baskom kecil sambil dikipasin (biar dingin katanya), puncak nasinya pasti diberikannya buat aku….ditaburinya garam, trus aku makan sambil nangkring di atas meja dapur yang dari batu itu, disamping beliau yang terus mengaduk nasi…wuihhhhh nikmatnya. Yak ampun Embah…sampe saat ini aku masih sering crita hal ini lho sama Oma (mamanya mas Indra) tentang kenanganku bersama beliau.
Setiap Ramadlon, bisa dipastikan aku akan menginap di rumah Embah, kadang-kadang sampai Lebaran sambil melewatkan liburan disana (seperti yang pernah aku critain di awal Ramadlon kemaren tuh….).

Beranjak remaja, aku masih rajin di rumah Embah, bedanya saat itu ga pake dianter Papah dan Mamah lagi, karena dah bisa naik public transport sendiri. Apalagi ketika Aki pergi, Bi Nining & Nini Ukay menikah, aku tetap rajin nemenin Embah di rumahnya. Aku juga sempet tinggal beberapa lama di rumah Embah waktu aku kuliah di UI. Inget banget, bagaimana Embah selalu menunggui aku buat makan malam sepulang aku latian marching band.
Hampir semua temen-temen yang dekat dengan aku kenal dengan Embah, soalnya saban ada temenku, Embah tuh rajin menyapa, jadi ketika aku kabari mereka tentang kepergian Embah, mereka ikut merasa kehilangan.

Embah juga rajin memberi….adik-adik asuhku, tukang becak deket rumah, tukang sampah yang lewat depan rumah sering kecipratan rizki-nya Embah, beliau yang mengajari aku untuk soal berbagi ini. “Ga jadi miskin, kalo kita mo BERAMAL!” gitu selalu katanya.

Banyak hal dalam hidup ini yang diajarkannya kepadaku, seperti mengaji (dulu saban Maghrib, tivi harus selalu mati, ngaji! Gitu selalu katanya kepada kita)….sampai hal-hal buat ‘orang dewasa’ (maksudnya seperti resep masakan favoritnya gituh).
Embah selalu ingin memberiku sesuatu (katanya dia suka kasian liat aku…ah Embah, ada-ada ajah) seperti ketika aku lulus S1 dulu, ingin sekali dia belikan aku kalung ato gelang sebagai hadiah buat aku (sedih kali dia liat cucunya kayak lelaki, hehehe).
Akhirnya dia berikan juga aku sebentuk cincin yang guede buanget, hehehe, aku sampe malu make-nya, tapi ternyata cincin itu juga yang memperlancar penyelesaian tesis-ku (waktu itu aku kehabisan dana, trus aku jual deh!). Sedih kalo inget cincin yang dijual itu, tapi kata Embah….”Gpp Ta…..itu buat Tita….terserah sama Tita mo dibuat apa, Embah ikhlas!”
Satu nasehat yang diberikannya kepadaku dan semua anak dan cucu perempuannya.
“Perempuan itu harus CANTIK, harus SEHAT, dan harus KUAT”. Soalnya khan nanti ngurusin Suami & Anak. Kalo perempuan itu lemah, gimana mo ngurus keluarga...ghitu kata beliau.

Bibir beliau selalu basah dengan kalimat Tauhid dan mengaji lepas Maghrib terus dilakoninya walaupun katarak merampas penglihatannya (Subhanallah…dia hapal beberapa ayat suci yang panjang-panjang, jadi dia ga akan beranjak dari sajadahnya, hingga Sholat Isya-nya tertunai). Sampai akhir hayatnya dia seolah tidak ingin berhenti mengaji dan minta di-ngaji-in kalo dia sudah engga ada kelak (kata Embah, dia cuma ngaji kampung, jadi kalo ada orang yang ga setuju sama tahlilan, biar aja, yang pasti dia tetep pengen dingaji-in…ah Embah…..).
Hal itu pula yang membuatku ingin seperti dia, BISA NGAJI sampai ajal menjemput! Jadi……bila Allah mencabut satu persatu nikmatnya dari aku (seperti penglihatan misalnya), aku masih bisa membaca kalam Nya (InsyaAllah).

Trus Embah juga mengajari aku buat menyambung tali silaturahmi (waktu Embah masih sehat, aku sempat menemaninya silaturahim ke rumah kakak dan adiknya, saat iu beliau semua masih hidup), mungkin itu pula yang membuat beliau diberi umur panjang oleh Allah. Gara-gara rajin nemenin Embah silaturahim ke rumah sodara, aku lumayan dikenal sama sodara-sodara jauh Embah, dan kayaknya aku satu-satunya keturunan Embah (dan Haji Mardjoeki), yang pernah liat rupa ibunya Embah yang sudah pergi sejak Embah berumur 6 tahun, soalnya yang se-angkatan mamah pun ga ada yang pernah liat.

Hummmm….rasanya baru kemarin beliau minta dimasakkan air panas buatnya mandi, baru kemarin rasanya beliau minta dibuatkan teh, baru kemarin rasanya aku disuruhnya beli nugget, gula pasir dan detergen, baru kemarin rasanya diajarinya aku mengaji, baru kemarin rasanya dia bercerita tentang masa lalunya, baru kemarin rasanya aku memintanya jangan buru-buru pergi sebelum anakku bisa mengaji (kalo yang ini Embah suka tertawa, katanya “ya ampun, sekarang aja Tita belum nikah” – saat itu aku memang belum menikah)”, baru kemarin rasanya dia ikut berbahagia melihatku memakai baju pengantin betawi seperti yang diinginkannya, baru kemarin rasanya aku melihat senyum mengembang disela kelelahannya saat aku dan mas Indra mengajaknya jalan-jalan ke rumah Oma (kayaknya beliau bahagia banget waktu itu karena akhirnya ada juga yang mengajak dia jalan-jalan keluar dari rumah dan membebaskan dari rasa bosan yang mengurungnya karena ga bisa kemana-mana selain diam di rumah), baru kemarin…baru kemarin…..baru kemarin…..ah…sejuta penyesalan membuncah…kenapa hingga akhir hayatnya aku tidak sempat menggenapkan diri ini untuk melayaninya. Masih terlalu banyak inginnya, tapi diri ini terlalu banyak lalai memenuhi pintanya.

oooOooo

Yaa Ghofur…Yaa Afuuw….Yaa Tawwab……
Ampuni segala dosa dan kekhilafannya. Maafkan semua kesalahannya. Bukakan pintu Tobat untuknya. Beliau hanyalah seorang hamba…yang tiada lepas dari segalah dosa dan cela.


Yaa Rahman…Yaa…Rahim….
Sayangi dia. Lapangkan & terangi kuburnya. Lindungi dari siksa kubur. Jadikan kuburnya sebagai taman Firdaus Mu. Tempatkan beliau di sisiMu dalam tidur panjangnya. Dan pertemukan serta kumpulkan kami semua di hari akhir kelak bersama orang-orang yang beriman.
Jadikan kepergiannya menambah taqwa kami pada Mu dan membuat kami sadar…betapa Kuasanya Engkau Wahai Robb alam semesta dan betapa tiada berdayanya kami sebagai umatMu.





No comments: