Thursday, May 26, 2005

Sebuah Episode dalam Mikrolet




Di suatu pagi yang cerah, dimana matahari bersinar dengan bersahabat. Bau tanah tersiram hujan semalam masih tercium, pagi yang sejuk membuat udara berasa nyaman di badan. Sepasang suami istri bergegas keluar dari rumahnya untuk memulai rutinitas di hari ini. Waktu masih menunjukkan pukul 6 pagi, jalanan masih sepi, hanya satu dua kendaraan saja yang baru lewat, denger-denger hari ini anak-anak sekolah di Jakarta sedang pekan ujian (pantesan……;)). Si istri melambaikan tangan pada sebuah mikrolet yang melintas, hummmm……”dah rame juga yaaa” begitu pikirnya, lima orang anak SMU (dikenali dari seragam yang mereka kenakan) duduk rapi. Beberapa diantaranya sambil membaca buku pelajaran, “mo ujian kali yaaa” begitu bisik si istri pada si suami. Si suami hanya mengangguk pelan, sambil bergeser ke pojok, memberi tempat buat penumpang lain yang beru masuk. Dari seragamnya si Ibu itu pastilah seseorang yang bekerja di instansi pemerintahan. Sekali lagi, waktu masih menunjukkan pukul 6 lebih dikit. Semua diam, hanya saling pandang diantara penumpang, entah apa yang terbersit di pikiran mereka masing-masing.
And the story begins……..
10 menit kemudian. Laju mikrolet terhenti di depan kantor PAM. Awalnya mungkin semua penumpang dalam kendaraan itu menganggap kejadian yang biasa, soalnya dua ratus meter dari awal kemacetan terjadi tersebut, ada pembangunan jembatan yang sudah setahun ini gak kelar-kelar. Selentingan kabar bilang, kontraktornya kabur, tapi ada yang bilang lagi masalah sama pembebasan tanahnya. Ah, sutralah! Smoga ga macet total, mungkin itu juga yang dipinta dalam hati seluruh penumpang mikrolet.
Mikrolet yang semula berjalan perlahan, akhirnya betul-betul berhenti. TOTAL!!! 5 menit….10 menit…..15 menit……anak-anak SMA yang tadinya memanfaatkan macet dengan belajar, langsung menutup bukunya. Kecemasan terdengar dari celoteh mereka,
Siswa 1, “duh…gimana kalo telat nih?”
Siswa 2, “tenang aja, gue pernah koq macet kayak gini, paling kita nyampe jam 7 lewat 1, masih boleh masuk koq” ujarnya berusaha menenangkan temannya.
Siswa 1, “gue takut dikonci-in nih, atau disuruh lari keliling lapangan” hehehe, ohhh rupanya dia takut kena hukuman ya. Ga pa-pa sih benernya, asal jangan disuruh pulang aja, kasian khan, rugi waktu dan rugi pelajaran.
Sementara di sudut mikrolet lainnya, 2 orang anak lelaki juga ikutan membahas imbas kemacetan itu,
Siswa 3, “sial…..mana gue lagi niat sekolah lagih, tau gini khan kita cabut ajah!” ini anak emang kayaknya ga niat sekolah, soalnya dari tampilannya aja dah keliatan ga niat gituh (hehehe, ga boleh ya nuduh gitu? Don’t judge book from it’s cover, katanya).
Siswa 4, “alahhhhhh, cabut mah cabut aja yuk! Kebeneran lagih!” lho?! (heu heu heu no comment ah!).

Sementara si suami cuma memandang si istri dengan senyum kecut, tangannya sibuk ber-sms ria, ketika dilirik oleh si istri, tulisannya berbunyi ,”tolong absenin donk….Dermaga macet nih…..” duh kasian ya suaminya.

Kemacetan makin menggila, mobil pribadi, metromini, mikrolet, bajaj, saling berebutan untuk sebuah celah kecil agar dapat keluar dari kemacetan. Yang bikin tambah parah motor, enak aja mereka selap-selip diantara mobil-mobil. Giliran ada celah sedikit buat mobil lewat, segera motor-motor itu menghalangi jalan, menambah keruwetan jalan yang emang udah ruwet. Sesekali ada teriakan dari polisi cepek, yang bukannya nambah lancar, malah nambah keruh suasana.

“Woiiiii, kira-kira donk bawa motor!!!” seorang pengendara mobil meneriaki motor yang menyenggol kaca spion mobil tersebut. Sulit dipercaya, yang berteriak itu seorang laki-laki dengan berdasi dan sisiran rapi. Pastinya orang yang berpendidikan ya. Tapi….yang naik motor juga (koq ga tega ngomongnya yah) kayaknya sama aja, udah nyenggol, ga pake say maap, langsung kabur ga nengok-nengok lagi ke belakang. “Hummmmm……lama-lama kita orang bisa jadi psikopat nih”, gitu gumam seorang ibu yang duduk dekat pintu.

Suasana makin ga jelas, bunyi klakson dan teriakan orang-orang yang ngatur jalan saling adu keras. Kejadian tambah seru ketika mikrolet terhenti di tengah-tengah jalan, karena jalanannya baru saja digali untuk keperluan proyek jembatan. “Sabar woiiiii, saya juga mo cepet-cepet, kasih jalan donk, kasian nih anak-anak sekolah di mobil saya, mereka mo ujian tau!” teriak si supir mikrolet kesal menimpali teriakan orang-orang yang bukannya menolong mobil yang hampir terperosok, malahan nyuruh mobil cepat-cepat jalan.
Alhamdulillah, si supir berhasil keluar dari galian tersebut setelah menekan gas dengan kencang, terdengar helaan nafas dari para penumpang, anak-anak SMA itu saling berpandangan, berharap waktu masih berpihak kepada mereka.

Si istri merapat ke tubuh suaminya yang duduk tepat disampingnya, “mas, orang-orang koq makin barbar ya” ujarnya setengah berbisik. Suaminya hanya mengangguk pelan. Mata mereka iba pada anak-anak sekolah yang terpaksa terlambat, bukan karena kesengajaan mereka. Kejadian seperti ini kerap terjadi terutama sejak terbengkalainya proyek jembatan itu. Ga ngerti siapa yang harus disalahkan, kontraktornya kah? pemerintahnya kah? polisi cepeknya kah?
Seandainya proyek itu cepat diselesaikan, mungkin adik-adik kita yang masih sekolah tidak perlu olah raga “lari” keliling lapangan dulu karena telat, atau bahkan adik-adik kita tidak perlu pulang lagi kerumah lantaran gerbang sekolahnya sudah digembok. Seandainya proyek tersebut tidak terbengkalai, mungkin bapak-bapak dan ibu-ibu yang hendak berangkat kerja tidak perlu senewen duluan menghadapi kemacetan jalan. Seandainya semua orang mau bersabar, mungkin ga perlu ada kemacetan.
Seandainya…..seandainya……seandainya……..(seandainya saya punya mobil, mungkin bisa milih jalanan yang ga macet ;p)


terinspirasi oleh keprihatinan akan ga jadi-jadinya proyek jembatan di Jl.Dermaga, Duren Sawit
Nama pelaku sengaja disamarkan (soalnya emang ga kenal sih .....hi hi hi)

No comments: