Tuesday, June 07, 2005

Secuil Kepiluan dari Sudut Metropolitan

Tadi pagi trima email ini dari seorang sahabat………

Salemba, Warta Kota

PEJABAT Jakarta seperti ditampar. Seorang warganya harus menggendong
mayat anaknya karena tak mampu sewa mobil jenazah.

Penumpang kereta rel listrik (KRL) jurusan Jakarta Bogor pun geger
Minggu (5/6). Sebab, mereka tahu bahwa seorang pemulung bernama Supriono
38 thn) tengah menggendong mayat anaknya, Khaerunisa (3 thn). Supriono akan memakamkan si kecil di Kampung Kramat, Bogor dengan menggunakan
jasa KRL. Tapi di Stasiun Tebet, Supriono dipaksa turun dari kereta,
lantas dibawa ke kantor polisi karena dicurigai si anak adalah korban kejahatan. Tapi di kantor polisi, Supriono mengatakan si anak tewas karena penyakit muntaber. Polisi belum langsung percaya dan memaksa Supriono membawa jenazah itu ke RSCM untuk diautopsi.

Di RSCM, Supriono menjelaskan bahwa Khaerunisa sudah empat hari
terserang muntaber. Dia sudah membawa Khaerunisa untuk berobat ke Puskesmas Kecamatan Setiabudi. "Saya hanya sekali bawa Khaerunisa ke puskesmas, saya tidak punya uang untuk membawanya lagi ke puskesmas, meski biaya hanya Rp 4.000,- saya hanya pemulung kardus, gelas dan botol plastik yang penghasilannya hanya Rp 10.000,- per hari". Ujar bapak 2 anak yang mengaku tinggal di kolong perlintasan rel KA di Cikini itu.
Supriono hanya bisa berharap Khaerunisa sembuh dengan sendirinya. Selama
sakit Khaerunisa terkadang masih mengikuti ayah dan kakaknya, Muriski
Saleh (6 thn), untuk memulung kardus di Manggarai hingga Salemba, meski
hanya terbaring digerobak ayahnya.

Karena tidak kuasa melawan penyakitnya, akhirnya Khaerunisa menghembuskan nafas terakhirnya pada Minggu (5/6) pukul 07.00.
Khaerunisa meninggal di depan sang ayah, dengan terbaring di dalam gerobak yang kotor itu, di sela-sela kardus yang bau. Tak ada
siapa-siapa, kecuali sang bapak dan kakaknya. Supriono dan Muriski termangu. Uang di saku tinggal Rp 6.000,- tak mungkin cukup beli kain kafan untuk membungkus mayat si kecil dengan layak, apalagi sampai harus menyewa ambulans. Khaerunisa masih terbaring di gerobak. Supriono mengajak Muriski berjalan menyorong gerobak berisikan mayat itu dari Manggarai hingga ke Stasiun Tebet, Supriono
berniat menguburkan anaknya di kampong pemulung di Kramat, Bogor. Ia berharap di
sana mendapatkan bantuan dari sesama pemulung.

Pukul 10.00 yang mulai terik, gerobak mayat itu tiba di Stasiun Tebet.
Yang tersisa hanyalah sarung kucel yang kemudian dipakai membungkus jenazah si kecil. Kepala mayat anak yang dicinta itu dibiarkan terbuka,
biar orang tak tahu kalau Khaerunisa sudah menghadap Sang Khalik. Dengan menggandeng si sulung yang berusia 6 thn, Supriono menggendong Khaerunisa menuju stasiun. Ketika KRL jurusan Bogor datang, tiba-tiba seorang pedagang menghampiri Supriono dan menanyakan anaknya. Lalu dijelaskan oleh Supriono bahwa anaknya telah
meninggal dan akan dibawa ke Bogor spontan penumpang KRL yang mendengar
penjelasan Supriono langsung berkerumun dan Supriono langsung dibawa ke
kantor polisi Tebet.
Polisi menyuruh agar Supriono membawa anaknya ke RSCM dengan menumpang
ambulans hitam.

Supriono ngotot meminta agar mayat anaknya bisa segera dimakamkan. Tapi dia hanya bisa tersandar di tembok ketika menantikan surat permintaan pulang dari RSCM. Sambil memandangi mayat Khaerunisa yang terbujur kaku.
Hingga saat itu Muriski sang kakak yang belum mengerti kalau adiknya telah meninggal masih terus bermain sambil sesekali memegang tubuh adiknya. Pukul 16.00, akhirnya petugas RSCM mengeluarkan surat tersebut, lagi-lagi karena tidak punya uang untuk menyewa ambulans, Supriono harus berjalan kaki menggendong mayat Khaerunisa dengan kain sarung sambil menggandeng tangan Muriski. Beberapa warga yang iba memberikan uang sekadarnya untuk ongkos perjalanan ke Bogor. Para
pedagang di RSCM juga memberikan air minum kemasan untuk bekal Supriono dan Muriski di perjalanan.

Psikolog Sartono Mukadis menangis mendengar cerita ini dan mengaku benar-benar terpukul dengan peristiwa yang sangat tragis tersebut karena masyarakat dan aparat pemerintah saat ini sudah tidak lagi perduli terhadap sesama. "Peristiwa itu adalah dosa masyarakat yang seharusnya kita bertanggung jawab untuk mengurus jenazah Khaerunisa. Jangan bilang keluarga Supriono tidak memiliki KTP atau KK atau bahkan tempat tinggal dan alamat tetap. Ini merupakan tamparan untuk bangsa Indonesia", ujarnya.

Koordinator Urban Poor Consortium, Wardah Hafidz,mengatakan peristiwa
itu seharusnya tidak terjadi jika pemerintah memberikan pelayanan kesehatan bagi orang yang tidak mampu. Yang terjadi selama ini, pemerintah hanya memerangi kemiskinan, tidak mengurusi orang miskin kata Wardah.


Kenapa disela klaim Pemerintah tentang keberhasilan pembangunan masih ada rakyatnya yang harus menerima perlakuan seperti ini.
Kenapa di negara yang mayoritas penduduknya Muslim, sebuah fardhu kifayah menjadi sesuatu yang dinafikkan.
Kenapa di negara yang katanya menyembah Tuhan YME menjadikan hedonisme dan materialisme sebagai Tuhannya.
Kemana kita….dimana kita…..lupakah kita akan kepulangan kita kelak…….

Robb…. ampuni kami atas segala kebutaan dan ketulian kami kepada saudara kami sendiri…….
Robb.....pantaslah jika kau azab bangsa ini dengan segala bentuk malapetaka.....ampuni kami duhai Allah Yang Maha Rahman.....maafkan kami duhai Allah Yang Maha Rahiem....

1 comment:

Anonymous said...

iya..aku dpt berita ini juga...speechless... :(( :(( sesek rasanya.. :(

semoga kita bisa berbuat banyak untuk sekitar kita. minimal dari lingkungan kita...minimal dari diri kita...amin..

sesuatu yang besar kan dari langkah kecil...

-ari-